PENA24JAM.COM, SAMOSIR – Seorang paragat tuak di Desa Parmonangan, Kabupaten Samosir, Sumut, mengambil tuak dari pohon sebagai hasil sadapan, Rudi Situmorang.
“Maragat adalah pekerjaan menyadap pohon bagot (aren, enau) untuk menghasilkan minuman tradisional beralkohol, yang umum dikenal dengan tuak. Maragat ini salah satu pekerjaan yang sudah menjadi tradisi di tengah masyarakat Batak sejak dahulu,” ujarnya.
Pekerjaan maragat, lebih dominan dilakukan oleh lelaki. Tidak sembarang orang yang bisa maragat, karena harus memiliki keahlian tertentu. “Pekerjaan ini membutuhkan konsistensi tingkat tinggi, seperti ketelitian, ketelatenan, dan kesabaran,” katanya.
Pekerjaan ini dimulai dari merawat pohon aren yang biasa tumbuh di perladangan atau sekitar hutan. Pohon ini nantinya akan menghasilkan buah pertama yang disebut halto yaitu buah yang sering dijadikan bahan dasar kolang-kaling.
“Setelah halto keluar, pada pohon aren akan tumbuh tangan arirang. Berbeda dengan halto, tangan arirang ini memiliki buah yang tekstur dan bentuknya lebih kecil dan lonjong dari buah halto, dan sedikit lebih besar,” jelasnya.
Tangan arirang inilah yang kemudian diproses seorang paragat. Awalnya, tangan arirang ini dibalbal (dipukul-pukul) menggunakan kayu berbentuk pentungan yang khusus dibuat oleh paragat. Setelah itu tangan arirang digoyang-goyang, sering disebut mengayun. Cara ini dilakukan untuk membuka pori-pori pada tangan arirang agar nantinya bisa mengeluarkan air tuak, yang disebut nira dan rasanya manis.
Mambalbal dan mangayun ini bisa berlangsung sampai berminggu-minggu. Setelah tiba saatnya dan dianggap sudah matang, paragat akan melakukan pemotongan (mangiris, manappul) batang tangan arirang dengan pisau khusus dan mengolesnya dengan buah kemiri.
“Nah, setelah batang tangan arirang ini dipotong, paragat akan memberikan ramuan yang biasanya disebut mangarokkapi (meramu). Praktiknya, membungkus pangkal batang tangan arirang dengan ramuan dari batang keladi dan ramuan lainnya,” paparnya.
Batang tangan arirang ini akan menghasilkan air nira lebih banyak lagi. Air nira inilah yang akan diramu dan diresep dengan bahan tertentu, sejenis kulit kayu yang disebut raru sehingga terjadi permentasi dengan air nira dan menghasilkan minuman tuak.
“Memanen hasil sadapan, biasanya dilakukan pagi dan sore, namun lebih sering sore hari dengan wadah jerigen. Lalu Tuak ini dijual ke lapo-lapo atau warung-warung yang khusus menyediakan tuak. Warung ini dikenal dengan sebutan lapo tuak,” terangnya.
Tuak lebih cocok dinikmati sore hingga malam hari. Umumnya, harga tuak di warung (lapo tuak) Rp3000 per gelas. Atau Rp15.000 perteko kecil dengan kapasitas 5 gelas tuak.
“Terkait Makna Parjambaron Dalam Adat Batak Toba. Selain sebagai minuman favorit sehari-hari masyarakat Batak, tuak juga kerap digunakan sebagai pelengkap acara adat masyarakat Batak Toba, khususnya di Samosir. Dalam lingkaran ini, sering muncul istilah parsituak natonggi, yang diwujudkan sebagai uang dari pihak tertentu yang tujuannya membeli tuak untuk dinikmati bersama-sama,” urainya.
Paragat tuak biasanya dilakukan warga desa, karena pohon aren tumbuh di sekitar pedesaan atau dekat dengan hutan. “Konon, di dalam mitologi atau cerita dongeng ataupun turi-turian masyarakat Batak, pohon aren atau enau yang disadap ini merupakan penjelmaan seorang dewi yang sering menangis karena mengalami kesedihan. (Candro Situmorang)
Discussion about this post